Rabu, 22 Februari 2012

Rahasa Illahi


Nasuha, demikian biasa dia dipanggil. Seorang lelaki hampir empat puluh tahunan dengan memiliki seorang istri dan sepasang anak yang ganteng dan cantik. Dia lumayan dikenal sebagai lelaki yang soleh dan baik hati. Demikian pula dengan istrinya yang baik dan ramah. Hanya kedua anaknya yang membuat namanya sedikit tercoreng. Walaupun dicukupi dengan berbagai fasilitas, tapi tak membuat Harun, anak pertamanya hidup baik. Sering mengajak teman-temannya mabuk-mabukan dan hidup dalam pesta pora. Sedangkan anak keduanya, Nabila, seorang yang keras kepala. Biarpun masih mau shalat tapi tidak ketinggalan dugem dan kebiasaan buruk lainnya.
Dia sudah berusaha mendidik dan mengajar anaknya dengan baik, bahkan tidak lupa mendoakannya siang dan malam. Entah mengapa, rupanya kehidupan di luar yang penuh dengan gemerlap dan kenikmatan duniawi sanggup menawan kedua anaknya. Hingga semakin lama, dia tak sanggup lagi mendidik anaknya dengan baik. Hasilnya ya jadilah seperti ini.
Selain saleh dia juga dikenal orang kaya di kampungnya. Setidaknya mempunyai peternakan sapi dan sawah serta ladang yang luas. Banyak orang di kampung itu yang bekerja kepadanya. Namun dengan semua kekayaannya itu dia dikenal dengan kebaikan hatinya, pemurah dan ramah. Sehingga namanya bukan hanya dikenal di kampung itu tapi juga dikenal sampai ke tempat-tempat yang jauh.
Secara rohani dialah orang yag paling rajin ke masjid, setiap hari, subuh maupun magrib. Tak pernah ketinggalan saat shalat Jumat atu mengikuti pengajian yang baisa dilaksanakan di masjid. Karena itu banyak pujian dan hormat yang diterimanya. Orang-orang menjadi segan kepadanya walaupun anaknya sering menimbulkan banyak kekacauan.
Diluar semua itu sebenarnya hatinya menangis karena anak-anaknya. Sepasang buah hatinya seperti duri dalam daging di hidupnya. Dia sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi mengatasi masalah itu. Bila dibiarkan duri itu tetap dalam dagingnya akan membuat dia semakin sakit bahkan bisa menimbulkan infeksi. Tapi bila dia ingin mencabutnya, dia akan lebih menyakiti dirinya sendiri, dengan membedah dagingnya dan membuangnya. Baginya kini, membiarkan atau mencabutnya sama-sama menyakitkannya.
Nasuha adalah Nasuha, biarpun begitu dia tetap selalu mengucap syukur ke hadirat ilahi. Baginya kalau Tuhan mengizinkan sesuatu dalam hidupnya pastilah ada sesuatu yang harus diperbuatnya. Karena semua peristiwa yang menyakitkan hatinya tidak membuatnya jauh dari Tuhan tapi malah membuat dia semakin dekat dan akrab dengan Sang Pencipta.
“Kita harus tetap mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat ini, ”katanya kepada Anisah istrinya saat membicarakan tentang anak-anak mereka.
“Iya Pak, anggap semua ini sebagai ujian bagi hidup kita.”
“Allah yang memberi, Allah yang memelihara dan Allah juga yang memberi petunjuk. Suatu saat nanti pastilah anak-anak kita akan berubah dan menjadi anak-anak yang soleh. Allah telah menitipkannya kepada kita, kita hanya menjalankan perintahNya dan berusaha sebaik-baiknya.”
Biasanya setelah membahasnya bersama dengan istrinya, Nasuha berdoa untuk kedua anaknya, menyerahkan mereka berdua ke dalam tangan Allah. Dia terus berharap agar mujizat terjadi dan Allah menjamah hati anak-anaknya.
Tapi Nasuha salah, kejadiannya tak seperti yang diharapkannya dan selalu didoakannya. Tuhan malah mengambil kedua anaknya dengan cara yang paling mengenaskan. Saat dia memanjatkan doa kedua anaknya sedang mengendarai sepeda motor di jalan raya dalam keadaan mabuk. Motor mereka oleng dan menabrak sebuah truk container sehingga mereka tergilas di bawahnya. Dan nyawa mereka melayang saat itu juga. Kepala Harun remuk tergilas ban truk dan tubuh nabila terseret beberapa meter sebelum akhir ajalnya.
Tentu saja hal itu sangat memukul jiwanya. Dia merasa Allah tidak mendengarkan doanya selama ini. Walaupun dia sempat berkata bahwa bila Allah mengambil mereka, itu adalah hak Dia. “Allah yang memberi, Allah juga yang mengambil. Terpujilah nama Allah, ”Katanya di tengah-tengah kesedihannya.
“Ini jalan yang terbaik yang Allah berikan, ”Kata Pak Kiayai menghibur dia.
“Tapi…bagi kami ini tidak adil, ”Sahut Anisah.
“Yang terbaik bagi Allah belum tentu baik bagi kita. Allah tak akan mencobai kita melebihi kekuatan kita sendiri. Saat kita tak mampu menjalaninya, Dia akan memberikan kekuatan kepada kita sehingga kita dapat melewati pencobaan ini, ”Pak Kiayi member wejangan.
Bagi banyak orang kejadian itu memang harus terjadi. Harun dan Nabila memang tak layak lagi hidup karena perbuatan mereka yang jahat dan penuh maksiat. Allah pantas menghukum mereka karena kejahatannya sudah tak terampuni lagi. Sudah banyak nasehat dan peringatan yang diberikan kepada kedua anak itu tapi tetap saja keduanya tak juga berubah. Jadi kalau mereka akhirnya mati, bukankah itu lebih baik. Baik bagi keluarga Nasuha, baik bagi seluruh warga kampung itu, baik juga bagi kedua anak itu sehingga tak menambah dosa-dosanya lagi.
Bagi Nasuha tidaklah demikian, ia masih terus bertanya kepada Allah tentang kejadian itu. Baginya, Allah lebih senang kalau ada orang yang jahat bertobat daripada orang jahat itu mati. Karena disitulah letak kasih sayang Allah kepada umatNya, yaitu menantikan pertobatannya dengan sabar. Tapi karena Allah Maha Kuasa, dia hanya dapat memujiNya dengan semua perbuatan tanganNya. Biarlah semua hanya Allah saja yang mengerti, dia tidak perlu mengetahuinya.
“Apakah Allah tidak mendengar doa kita?”Tanya Anisah gelisah.
“Tidak. Allah mendengarkan doa kita. Namun ketika kita meminta kepadaNya, kita meminta apa yang kita ingini, bukan meminta apa yang Dia kehendaki supaya terjadi. Seandainya kita bisa mengetahui pikiran Allah, tentu kita akan berdoa sesuai kehendakNya, yaitu meminta sesuatu yang Dia kehendaki supaya terjadi.”
“Tapi bagaimana kita bisa mengetahui pikiran Allah?”
“Saya tidak tahu, tapi tiada yang mustahil.”
Saat semua itu belum berakhir, saat berkabungnya belum selesai, Nasuha dan istrinya harus menghadapi lagi masalah di rumah tangganya. Tiba-tiba saja seluruh kampung itu mengalami musibah, padi mereka gagal panen karena serangan hama yang tiba-tiba dan mewabah. Nasuha mengalami kerugian yang banyak karena biaya pengolahan sawahnya yang luas tidaklah sedikit. Bagi Anisah hal itu menambah kesedihannya saja.
Untuk memulai kembali mengolah sawahnya dia hampir mengeluarkan seluruh uangnya. Bukan hanya itu, orang-orang yang dipinjaminya uang tak mampu membayar karena mereka juga gagal panen. Untuk menghemat biaya mau tak mau dia juga harus turun kesawah. Mulai dari membabat dan membakar padi yang gagal panen, sampai mencangkul dan menanami kembali sawahnya. Hal itu membuat kesehatannya menjadi sedikit terganggu.
“Segala puji bagi Allah, Dia yang mengatur semua rezeki kita, ”Katanya dalam pembaringan. Sudah dua kali ia berobat tapi masih saja belum sembuh juga dan harus masih berbaring.
“Kita memang harus lebih banyak bersabar dan tawakal sekarang, ”Sahut istrinya.
“Bu, janganlah kita menjadi jauh dari Allah setelah semua ini terjadi. Ini hanya pencobaan yang biasa saja. Kita pasti mampu melaluinya. Berdoalah terus agar kita bisa dapat modal lagi untuk mengolah sawah kita. Karena kita perlu juga untuk menafkahi para pekerja kita. Kalau sawah kita tidak diolah, akan banyak orang yang menganggur di tengah masalah ini.”
“Iya Pak. Saya selalu berdoa, supaya Bapak juga cepat sembuh.”
“Satu lagi, jangan pernah menyalahkan siapapun, menyalahkan orang, menyalahkan alam, apalagi menyalahkan Tuhan atas segala yang kita derita. Semua ini memang jalan yang harus kita lalui, nanti juga akan berakhir.”
Anisah mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum.
Karena ia tak mampu bekerja, Anisah lah yang menjadi pengawas di sawahnya untuk mengawasi para pekerja, juga untuk membantu menyelesaikan pekerjaan di sawah agar cepat selesai dan bisa ditanami lagi. Setiap hari ia ditinggal sendirian di rumah, dari pagi hingga sore hari. Tapi justru karena itu ia jadi semakin lebih banyak berdoa kepada Allah, supaya Allah memulihkan kehidupan mereka.
Suatu kali pegawainya yang mengurus sapi datang padanya.
“Ada apa Jang, pagi-pagi sudah datang?”Tanyanya ramah.
“Maaf Pak, mengganggu. Saya mau kasih laporan. Sapi-sapi kita sudah beberapa hari ini kelihatannya pada sakit. Sekarang kelihatannya hampir semuanya kena. Jadi kami harus bagaimana?”
“Begini saja Jang, kamu datangi dinas peternakan dan meminta dokter mereka memeriksa sapi kita. Nanti hasilnya kamu kasih tahu saya lagi. Mudah-mudahan masih bisa diobati.”
“Baiklah kalau begitu. Saya segera laksanakan.”
Nasuha merasa tak enak hatinya saat Ujang meninggalkannya seorang diri. Dia merasa ada sesuatu lagi yang akan terjadi pada hidupnya. Dia kembali memejamkan matanya dan berdoa kepada Allah agar terhindar dari segala hal yang tidak dikehendakinya.
“Tapi ya Allah…”Katanya di ujung doa, ”Jadilah kehendakMu saja, bukan kehendakku…”
Seperti firasatnya yang tidak enak, beberapa hari kemudian, seorang dokter hewan mendatanginya bersama Ujang memberikan kabar tentang sapi-sapinya. Dia tak dapat lagi mengelak dari musibah selanjutnya yang terjadi.
“Maaf Pak, sapi-sapi Bapak harus dimusnahkan sekarang juga, ”Kata dokter hewan itu pelan, ”Semuanya terkena antrax. Kalau tidak segera dimusnahkan akan menular ke seluruh kampung ini, bahkan saya kuatir dampaknya akan lebih luas lagi.”
Nasuha memejamkan matanya rapat-rapat, katanya, ”Jang, lakukanlah apa yang diperintahkan dokter ini.”
Ujang tak menjawab, dia sendiri bingung dan prihatin.
“Tapi ingat, jangan beritahu Ibu.”
Setelah itu Nasuha menangis, sampai ia tak dengar Ujang dan dokter itu pamit. Ujang memahami apa yang dirasakan oleh majikannya, karena itu ia tak mau bicara apa-apa lagi. Tapi Nasuha, dia tak mampu menahan kesedihannya dan kemarahannya pada Tuhan. Ia tidak tahu lagi harus berdoa atau merengek di hadapan Sang Pencipta. Sampai akhirnya ia hanya mengucapkan sebuah kalimat, ”Allah yang memberi, Allah pula yang mengambil. Subhanallah.”
Beberapa hari ia menyembunyikan peristiwa itu kepada istrinya. Ia tak tega melihat istrinya terpukul lagi setelah banyak mengalami kecapaian mengurus sawahnya. Kadang ia hanya tersenyum melihat kulit istrinya yang cantik mulai kelihatan legam, terbakar matahari. Ia malah banyak mengajak istrinya bersenda gurau dan menyayanginya dengan semakin mesra. Tentu saja hal itu membuat Anisah semakin semangat di tengah-tengah musibah yang menimpa hidup mereka. Dia senang kalau Nasuha semakin sayang setelah mereka kehilangan anak-anak yang mereka cintai. Tuhan pasti akan memberinya kebahagiaan dengan memberinya anak yang lain.
“Bu…”Nasuha membuka pembicaraan setelah persoalan di sawah telah beres.”Kita mesti bersyukur karena bisa menanami sawah kita lagi walaupun keadaan keuangan kita sangat minim. Menurut Ibu bagaimana, kalau seandainya kita tak mampu beli pupuk?”
“Jangan berkata begitu Pak. Pasti ada jalan keluarnya.”
“Ya, Bapak percaya itu. Tapi sepertinya kita harus lebih bersabar lagi Bu.”
“Kenapa Pak?”
“Maaf Bu, kita harus menerima kenyataan ini. Sekarang kita tidak memiliki sapi-sapi lagi. Semuanya sudah dimusnahkan karena terkena penyakit menular.”
“Hah?”
Nasuha memeluk Anisah erat dan membelainya mesra dengan harapan dapat meredam segala pertanyaan yang mungkin muncul dari bibir istrinya. Dan Anisah pun tenggelam dalam pelukan suaminya tanpa berkata apa-apa lagi. Biarpun demikian, dari kelopak mata suami istri itu mengalir butiran-butiran bening yang meleleh di pipi mereka.
Sejak saat itu mereka mulai jarang bicara banyak. Baik Nasuha dan Anisah mulai jadi pendiam, baik diantara mereka berdua maupun kepada tetangga mereka. Semua orang memakluminya. Semua orang belajar mengerti keadaan mereka yang seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Sekarang Nasuha yang dianggap orang kaya di kampung itu, kehidupannya telah menjadi sama dengan hidup kebanyakan orang disana. Dan banyak orang yang prihatin melihatnya.
Sampai disaat seperti itu mereka masih kelihatan baik-baik saja dan tak pernah meninggalkan kegiatan-kegiatan rohani. Apalagi Pak Kiayi banyak memberikan mereka nasehat dan pengajaran tentang agama. Hubungan mereka dengan Pak Kiayi pun semakin akrab.
Tapi hidup belum selesai, nasib masih bergulir dan waktu masih terus maju. Keharmonisan rumah tangga Nasuha dan Anisah akhirnya terganggu juga dan semua orang mulai menilai mereka dengan hal-hal yang negatif. Bermula dari test darah yang dilakukan oleh Nasuha saat ia mengalami demam yang tak berkesudahan. Nasuha dinyatakan positif terkena virus HIV. Bukan hanya itu, karena penasaran, Anisah, wanita yang selalu berkerudung itu juga dinyatakan positif HIV.
Mulai saat itu mereka mulai banyak bertengkar dan saling menyalahkan. Virus yang ditularkan melalui hubungan kelamin itu membuat mereka saling mencurigai. Siapakah diantara mereka yang pernah selingkuh? Baik Nasuha maupun Anisah tak ada yang mau mengakui bahwa mereka pernah selingkuh. Nasuha merasa benar, demikian juga dengan Anisah. Jadi sekarang tak ada yang tahu, bagaimana virus yang mematikan itu bisa masuk ke dalam tubuh mereka.
Kali ini Nasuha berdoa kepada Allah dengan tangisan yang meraung-raung.
Anisah berteriak meminta keadilan dari Allah Yang Maha Tahu.
Dan…orang-orang ketiga mulai datang menasehati mereka.
“Selidikilah dirimu, minta ampunlah kepadaNya, ”Kata Syarif menasehatinya.”Lihatlah, Tuhan telah meninggalkanmu. Anak-anakmu telah diambil, hartamu telah lenyap. Masihkah kamu mengeraskan hatimu kepada Allah? Padahal sekarang umurmu hanya tinggal sekejap, tak ada obat untuk penyakit kotor itu.”
“Aku tak tahu apa dosaku.”
“Jangan munafik! Semua ini terjadi karena pasti kamu telah berdosa.”
“Aku percaya Anisah perempuan yang baik, yang selalu menjaga kehormatannya, ”Kata Zaenal pula mengingatkannya.”Akuilah di hadapan Allah semua dosamu itu, pasti Allah akan memulihkanmu.”
“Apakah kau percaya bahwa aku juga manusia yang saleh?”
“Tapi…”
“Semua ini tak ada hubungannya dengan dosa. Kalau memang semua ini harus terjadi, terjadilah. Baik hartaku maupun hidupku semuanya adalah milikNya, terserah Dia mau memperlakukannya seperti apa.”
“Jadi kamu tidak mau mengakui dosamu?”Pak Kiayi malah marah.”Kamu masih mengakui bahwa kamu orang yang saleh, setelah semua ini menimpamu? Sadarlah, janganlah takkabur dan menyombongkan dirimu.”
“Kesalehan…”Jawab Nasuha, ”Adalah seperti kain kotor di hadapan Allah. Itu tak bisa membuat orang dekat kepada Allah, atau bahkan dosa, tak bisa membuat Allah menjauh dari kita. Allah berkenan kepada siapa Dia berkenan. Kebaikan tak dapat membuat orang dekat kepada Allah dan kejahatan tak dapat membuat Allah meninggalkan kita. Karena Allah selalu dekat kepada kita, baik kita benar maupun ketika kita salah. Kitalah yang merasa bahwa kita dekat atau jauh dari Allah.”
“Omonganmu mulai ngaco!”Bantah Syarif.
“Orang yang menderita belum tentu karena dia telah berbuat dosa dan orang yang kelihatan berbahagia belum tentu dia tidak melakukan dosa.”
“Tapi…sakitmu itu menjadi bukti dosamu, semua orang tahu!”Zaenal memarahinya.
“Siapakah yang tahu aku meniduri seorang pelacur atau aku berzinah?”
“Jadi Anisah yang salah?”
“Hanya Allah yang tahu.”
Nasuha semakin stress karena omongan banyak orang. Satu per satu sahabatnya mulai meninggalkan dia, teman-temannya mulai menjauhi dia karena dia dianggap orang yang bejat dan tak mau mengakui kesalahannya. Berkali-kali Pak Kiayi maupun ustadz mendatanginya agar dia mau mendekatkan dirinya kepada Allah. Justru hal itu semakin membingungkannya, karena selama ini ia sendiri merasa dekat dengan Allah dan tak sedetikpun merasa meninggalkanNya. Dia hanya berharap Allah mau membela perkaranya saat ini, karena hanya Allahlah yang tahu bahwa dirinya tak bersalah.
Diapun mendatangi istrinya yang sudah merasa jauh darinya dan minta diceraikannya.
“Bu, saya minta maaf atas semua ini, ”Katanya pelan.”Maafkan karena telah menghinamu dan menuduhmu yang tidak-tidak. Saya sadar sayalah yang salah. Sampai hari ini saya masih percaya bahwa kamu adalah wanita yang terhormat. Maafkanlah saya…”
“Jadi sekarang Bapak mau mengakui bahwa Bapak pernah selingkuh?”
“Saya tak dapat mengakui sesuatu yang tidak saya lakukan.”
Anisah mencibir, tak percaya padanya.
“Tak apa kalau Ibu tak percaya pada Bapak, tapi Bapak percaya pada Ibu. Terimakasih.”
Itulah kalimat terakhir yang diucapkan kepada istrinya Anisah, setelah itu ia tak pernah bertemu lagi dengan istrinya sampai akhirnya Anisah meninggal karena banyak mengalami komplikasi akibat pengaruh virus HIV itu. Hal itu membuat Nasuha semakin sedih dan tak tahu harus bagaimana meyakinkan orang-orang bahwa dia tidak pernah berzinah. Hidupnya semakin banyak ditinggalkan orang dan hartanya telah habis, hampir ludes.
Dalam kesendiriannya dia dirawat oleh Jamilah, kerabat jauh dari orangtuanya yang menaruh kasihan kepadanya dan yang masih peduli. Yang lebih penting bagi Nasuha adalah karena jamilah percaya kepadanya dan tak meragukannya sedikitpun.
“Sampai kapan lagi kamu masih sembunyi dari dosamu, ”Kata Pak Kiayi setelah pemakaman Anisah.”Jangan kau racuni Jamilah dengan kebohonganmu. Bertobatlah.”
“Saya sudah lama bertobat Pak.”
Jamilah tersenyum setiap mendengar perdebatan Nasuha dengan Pak Kiayi atau ustadz, dia tetap mempercayai Nasuha dengan penuh kasih sayang. Dia tidak takut kepada Nasuha, malah dia mulai menyukai lelaki yang malang itu.
Memang tak ada yang mempercayai Nasuha selain Jamilah.
Mengapa semua peristiwa itu terjadi pada Nasuha?
Tak ada seorangpun yang tahu, tak ada yang mengerti. Mereka hanya menduga-duga saja.
Tapi…jauh sebelumnya, sebelum anak-anaknya meninggal, sebelum sawahnya terkena hama, sebelum sapi-sapinya harus dimusnahkan dan jauh sebelum ia dan istrinya terkena HIV, telah terjadi sesuatu di alam yang tidak manusia kenal. Saat itu iblis mendatangi Allah di tempat Yang Maha Tinggi dan membicarakan nasib Nasuha.
“Wahai Tuanku…”Kata Iblis kepada Allah waktu itu, ”Aku melihat hambaMu, Nasuha seorang yang saleh dan tidak bercacat. Dia menjadi orang yang kaya, anak-anak dan istrinya saleh juga. Aku yakin kalau semuanya itu tak ada padanya dia akan menjadi orang yang jahat dan mengutuki Engkau. Berikanlah dia ke tanganku.”
Allah yang duduk di atas singgasanaNya tersenyum kepada iblis, sabdaNya, ”Perlakukanlah dia semaumu, tapi jangan ambil nyawanya. Dia itu hambaku yang saleh, dan kau tak dapat merubah hatinya yang suci itu.”
Dan semenjak itulah iblis merampas anak-anaknya menjadi anak-anak yang jahat dan mengambilnya dari Nasuha, kemudian sawahnya, sapinya, tanahnya juga istrinya. Tapi iblis tak dapat mengambil nyawanya. Dan…syetan itu tetap kecewa karena Nasuha tidak juga mengutuki Tuhan Allahnya.
Dalam duduk diam malam itu Nasuha menyapa Jamilah.
“Sudahkah kamu shalat?”

Related Posts

Rahasa Illahi
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.